Seandainya aku bisa mendeteksi
kapan datangnya rasa cinta mungkin saja aku dapat mengendalikannya. Kini
persahabatan hancur karena rasa itu, ya rasa cinta. Aku benar-benar tak
mengerti karena kini dia memalingkan wajahnya daripadaku karena pernyataanku.
“Aku menyukaimu Re”, aku
mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya. Aku sudah siap apapun yang akan
terjadi, baik Rere akan menerima ataupun menolakku, namun ini bukan perkara
diterima ataukah ditolak, aku hanya ingin jujur, itu saja. Semenjak saat itu,
saat tiga kata terlontar dari mulutku, duniaku dan dunianya terasa sangat jauh.
Padahal semenjak kami duduk di bangku SD kami selalu bersama-sama. Kini untuk
menatapku saja dia enggan untuk melakukannya.
Hari demi hari aku lewati tanpa
bersama Rere, dan Rere pun jadi jarang masuk sekolah belakangan ini. Wali kelas
kami hanya memberitahukan bahwa Rere tidak masuk sekolah karena sakit, aku tak
tahu jelas. Aku ingin sekali datang ke rumah Rere, namun mengingat kejadian
hari itu aku mengurungkan niatku. Tentu saja Rere tidak akan mau bertemu
denganku.
“Valdo, Renata pindah sekolah
yah?” Sugi bertanya
“Ah, mana mungkin bro! Mustahil!”
aku membalas
“Eh, tadi aku gak sengaja dengar
kok, lagi dibicarain tuh di ruang guru.”
“Ah yang bener bro? Jangan
bercanda dong”
“Gak percayaan amat sih! Serius
bro!”
Disela-sela beradu argumen, wali
kelas kami masuk ke dalam kelas, dan benar saja. Wali kelas membawa kabar bahwa
orang tua Rere harus pindah dinas ke kota lain, dan Rere pun harus mengikuti
orangtuanya. Mendengar kabar itu, aku merasa separuh jiwaku pergi. Sahabatku,
orang yang paling ku sayang di dunia ini, pergi meninggalkanku tanpa sepatah
kata pun. Tak ada pamitan. Rere benar-benar berubah. Apa karena tiga kata itu?
Apa aku salah? Jujur itu salah? Benar-benar menyakitkan! Sahabat jadi cinta,
aku harus menanggung resiko ini? Sangat berat! Tapi mau bagaimana lagi.
Tak terasa aku sudah menghabiskan
enam gelas es cappuccino cincau pake WOW di kantin. Es cappuccino adalah
minuman favorit aku dan Rere.
“Dodo, aku mau ke kantin. Temenin
yah.”
“Iya princess aku temenin.”
Kami membeli dua gelas es
cappuccino cincau pake WOW milik mba Popy.
“Es cappuccino cincau ini emang
bener-bener WOW sesuai namanya! HaHaHa.. Iya kan Do?” kata Rere dengan gelak
tawanya
“Iya Re, enak juga nih.” Aku
berkomentar
Rere benar-benar seorang yang
sangat ceria, aku bangga punya sahabat sepertinya.
“Woooyy Valdo!” Sugi mengagetkan
“Apasih kamu Gi.” aku tersadar
dari lamunanku akan masa lalu bersama Rere.
“Melamun terus kamu bro.”
“Tidak kok bro”
“Aku udah panggil kamu daritadi,
kamu tetap aja diam tanpa menoleh.”
Aku akui belakangan ini pikiranku
selalu melayang mengingat kenangan-kenangan bersama Rere. Bagaimana tidak,
setiap tempat di sekolah, tentu mempunyai kenangan bersamanya, tentu saja kemanapun
aku pergi aku pasti akan mengingatnya.Rere benar-benar telah mengambil alih
otakku.
Sepulang sekolah aku menyempatkan diri ke
taman bermain di Lovely Park, taman bermain ini merupakan taman yang
bersejarah, disinilah aku mengenal Rere.
“Aduhhh,, sakitt…” kata seorang
anak perempuan
“Hey kamu kenapa?” tanyaku
“Lutut aku perih, aku jatuh dari
ayunan ini.”
“Sini aku lihat.” Kataku
menawarkan
Aku mengambil saputanganku dan
membersihkan lututnya yang terdapat luka.
“Nama kamu siapa?” tanyaku
sembari membersihkan lututnya
“Aku Renata, panggil saja Rere.
Kalau kamu?”
“Aku Valdo.”
“Aku panggil kamu Dodo aja yah.”
Katanya sambil melemparkan senyumnya
“Terserah kamu deh, oh iya rumah
kamu dimana?”
“Di kompleks Citraland.”
“Ayo ikut aku, aku akan mengantarmu”
Aku mengantar Rere pulang ke
rumahnya dengan sepeda, orangtuanya nampak begitu khawatir, setelah Rere dan
orangtuanya mengucapkan terimakasih, aku segera pulang.
Itulah hari pertama aku
mengenalnya, dan sekarang adalah tanggal dan bulan yang sama saat pertama kali
aku mengenalnya, aku ingat betul, 4 juli kisah kami dimulai.
Aku memberanikan diri untuk
mengirimkan pesan singkat pada Rere
Re,
aq kangen km.
Kpn
qt main bareng lg d Lovely Park?
Aq
KANGEN masa itu
Klik.. Send. . .
Lama aku menunggu tak kunjung ada
balasan, aku mengirim pesan lagi.
Km
marah ama aq?
Plis
jgn diamin aq!
Masih sama, tidak ada respon.
Walaupun pesanku terkirim, Rere tidak membalasnya. Aku tidak akan menyerah, aku
mendatangi rumah Rere. Rumahnya begitu sepi, saat aku memencet bel rumah,
pembantu mereka mbak Anti yang keluar rumah.
“Eh dek Dodo, udah lama gak
main-main kesini mbak pangling liat kamunya.”
“HeHe.. Rerenya ada mbak?”
tanyaku
“Wah, non Rere sama tuan dan
nyonya udah ke bandara beberapa jam yang lalu dek.”
“Oh, Rere berangkat kemana yah
mbak?”
“Mbak juga gak tahu jelas dek,
mbak hanya tahu kalau kedua orang tua non Rere menemani non Rere berangkat
untuk berobat gitulah.”
Oh, makasih infonya mbak.
Permisi.”
Aku benar-benar merasa ada yang
aneh. Katanya Rere pindah sekolah, tapi kok mbak Anti mengatakan Rere harus
menjalani pengobatan. Rere sakit? Ah mustahil! Selama ini dia selalu baik-baik
saja kok. Tapi mbak Anti tidak mungkin berbohong. “Ada apa denganmu sih Re?!”
Rasanya kok susah sekali untuk meraih kamu.
Aku menelepon Rere tapi tak
dijawab, bahkan hari ini pun nomor handphone Rere sudah tidak aktif. Rere
benar-benar menghilang.
*************************************************************************
“Nak, udah dua hari kamu gak
sekolah wali kelas kamu nanyain kamu ini loh.”
“Aku gak mau sekolah ma,
penyemangatku udah gak ada !”
“Sayang, ada atau enggaknya Rere
itu gak akan menentukan kesuksesan kamu. Ayo dong, kamu ke sekolah yah. Kamu
lebih memilih Rere daripada mama kamu sendiri? Kamu buat mama kecewa sayang.”
Aku berlari memeluk mama dan
membisikkan kata-kata ditelinganya.
“Maafkan aku yang ternyata egois,
ma. Love you”
Mama mengusap kepalaku, dan
keluar dari kamarku. Mama benar-benar memeperlakukanku seperti anak kecil,
padahal aku kan sudah di kelas XI SMA sekarang.
Dua hari lagi aku akan berulang
tahun yang ke-17. Dan ini akan menjadi ulang tahun bersejarah, yah bersejarah
karena tanpa Rere. Orang bilang ulang tahun paling berkesan adalah di usia
tersebut, itulah sebabnya disebut sweet-seventeen. Apakah benar? Bagaimana
kalau aku wish agar Rere berada disampingku saat aku merayakannya. Betapa
bahagianya aku saat itu. Yapp.. Aku mulai berandai-andai lagi.
“Good morning honey. Happy
birthday.” Ucap mama sambil menghampiri ranjangku
Oh iya hari ini adalah hari ulang
tahunku, aku 17 tahun sekarang.
“Thank you so much mama.” Balasku
dan memeluk mama.
“Ayo bangun, bergegas untuk ke
sekolah gih. Semoga harimu menyenangkan sayang.”
“I hope so.” Batinku
Di sekolah aku sudah disambut
oleh teman-teman sekelasku, apalagi kalau bukan memberiku ucapan sekaligus
menagih traktiran. Tanpa aku sadari, wali kelas kami masuk dan membawa kue
ulang tahun untukku, dan yang membuatku kaget adalh Rere berjalan di belakang
wali kelas kami. Aku menampar pipiku, sepertinya ini adalah mimpi. Dan awwww..
sakit. Ini bukan mimpi.
“Selamat ulang tahun Dodo. Best
wishes for you” Kata Rere
“Make a wish Do.” Kata wali kelas
“Bahagia Rere adalah bahagiaku,
aku ingin melihatnya bahagia Tuhan. Amin.” Batinku
Aku meniup lilin diiringi lagu
yang dinyanyikan oleh teman-teman sekelasku. Setelah itu aku ingin memotong
kue, tapi tiba-tiba Rere mencolek kue itu dan mencoreng mukaku dengan fla kue.
Akupun membalasnya, pada akhirnya semua terkena fla kue. Wajah kami benar-benar
kotor, bukan saja wajah, baju kamipun ikut kotor. Disela-sela kekacauan kami
mengobrak-abrik kue, bukannya memakannya. Rere jatuh pingsan, kami semua panik
dan segera membawanya ke rumah sakit.
Dalam perjalanan kami ke rumah
sakit, benar-benar macet, aku semakin panik. “Bangun Re, bangun ! Jangan buat
aku panik gini dong.”
Rere tersadar.
“Do, kamu baik banget sih Do !”
“Sssttt.. Jangan banyak bicara,
kamu masih lemah.”
“Enggak Do, aku ingin bicara
banyak hal sama kamu. Kan udah lama kita gak sama-sama kayak gini.” Kata Rere
terengah-engah
“Udah Re, jangan paksain diri
kamu. Kamu pucat banget nih Re”
“Gak apa-apa Do, kenapa? Aku
kayak setan gitu? Pucat pasi? Hehehe..” masih sempatnya Rere bercanda dalam
keadaannya yang lemah.
“Biar pucat, tetap cantik kok
Re.”
“Bohong kamu, Do”
“Jujur aku Re, sejak kapan sih
aku bohongin kamu.”
“Iya aku tahu Do.” Suara Rere
makin melemah.
“Aduh bro, kenapa macet gini sih
! Shit !” Aku sudah mulai kesal.
“Sabar bro, sabar!” kata Sugi
menenangkan
Untung saja Sugi membawa
mobilnya, sehingga kami membawa Rere menggunakan mobil Sugi.
Akhirnya kami tiba di Rumah
Sakit. Rere dibwa ke UGD, pikiranku sudah tak menentu. Semoga tak terjadi
apa-apa pada Rere.
Kedua orang tua Rere tiba di
rumah sakit. Aku pun menanyakan, sebenarnya apa yang terjadi pada Rere.
“Om, Tante sebnenarnya Rere sakit
apa?
“Rere sakit Leukimia, nak” kata
Mamanya Rere menahan tangis.
“Apa? Leukimia?”
“Iya nak, Rere menyembunyikan
sakitnya pada kami. Dia sudah lama mengidap penyakit ini. Dan juga kami terlalu
sibuk dengan pekerjaan kami sehingga tidak pernah memperhatikannya dengan
baik.” Ucap Papanya Rere
Aku benar-benar merasa lemas
mendengar berita buruk tersebut. Rere yang ceria, sangat pintar menyembunyikan
hal ini.
Dokter memanggil kedua orang tua
Rere dan tampaknya membahas kondisi Rere, aku menatap Rere dari luar kaca
jendela. Tak sadar airmata sudah menetes di pipiku.
Aku duduk di bangku panjang
ditemani Sugi.
“Bro, Rere sakit Leukimia?”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Sugi teman sekelasku yang paling perhatian pada aku dan Rere. Dia benar-benar
baik.
“Nak Valdo, kalau mau pulang
boleh aja kok nak. Kamu pasti lelah.” Kata Mamanya Rere
“Hmm, Iya tante, tapi sebentar
malam aku akan kesini lagi.” ucapku
“Oh iya nak, selamat ulang tahun
yah.”
“Terima kasih tante.” Balasku dan
segera pulang bersama Sugi
Mama dan Papa shock mendengar
kabar bahwa Rere mengidap Leukimia. Memang aku saja sampai sekarang masih tak
percaya.
“Kita sama-sama berdoa yah
sayang, semoga Rere dipulihkan. Ada mujizat dari Tuhan” kata Papa
“Ayo kita berdoa bersama mengucap
syukur atas usia kamu yang bertambah, dan juga berdoa untuk Rere” Mama menambah
Malam itu sebelum aku pergi ke
rumah sakit, papa berdoa untukku dan juga untuk Rere. Suasana ulang tahunku
kali ini memang berbeda, walau bersama Rere, tapi rasanya menerima kenyataan
Rere sakit benar-benar menusuk hati.
“Rere udah siuman tante?” tanyaku
“Udah nak, kondisinya juga
semakin baik.” Kata Mamanya Rere dengan senyum walaupun terdengar ada nada
kekhawatiran
“Aku masuk ke kamarnya yah,
tante.”
“Silahkan nak.”
Rere terbaring seperti itu aku
merasa dadaku sesak, aku merasa tak bisa bernafas dengan baik. Aku tak suka
melihat Rere lemah. Aku duduk di kursi dekat tempat tidurnya dengan pelan-pelan
tanppa membunyikan suara apapun, takut kalau akan membangunkan Rere.
“Dodo.” Rere memanggil.
Aku kaget, Rere tahu aku ada di
sampingnya padahal aku sudah berusaha agar dia tak terbangun. Namun, Rere tak
kunjung membuka matanya. Sepertinya Rere mengigau namaku dalam tidurnya. Wah,
betapa bangganya diriku. Dalam tidur pun Rere memanggil namaku. Setengah jam
kemudian Rere terbangun.
“Dodo. Kamu kok disini? Kamu kan
seharusnya merayakan ulang tahun kamu sama keluarga kamu.” Ucap Rere
“Tidak masalah, Re. Hal yang
paling membahagiakan adalah bersama kamu di hari ulang tahunku.”
“Kamu ini bisa aja, Do.” Ucapnya
pelan
“Rere kamu harus kuat yah,
semangat !” Kataku member semangat
“Aku udah capek, Do. Capek
banget.”
“Kamu kok ngomongnya kayak gitu
sih?!”
“Lemah seperti ini, aku tersiksa,
Do. Hikss” Rere berkata sambil terisak.
Aku mengusap airmatanya. “Jangan
buat aku menderita melihatmu seperti ini, Re” batinku
Rere keras kepala, dia ingin di
rawat di rumah saja. Pada akhirnya dia melakukan perawatan yang intensif di
rumah. Orang tua Rere mengikuti semua permintaan Rere. Aku sepulang sekolah mampir
ke rumah Rere untuk melihat keadaannya setiap hari.
“Do, aku kangen loh main di
Lovely Park.” ucapnya
“Kalau kamu udah sembuh, kita
main kesana yah.”
“Janji yah kamu.” Ucapnya senang
sambil mengaitkan jari kelingking kami.
Keesokkannya aku menerima telepon
dari Mamanya Rere, kondisi Rere mulai drop. Dengan segera, aku ke rumah Rere.
Dokter memang sudah pasrah dengan keadaannya, Dokter berkata kita hanya butuh
mujizat.
Aku menghampiri Rere yang sudah
benar-benar lemas tak berdaya, dengan airmata yang sudah tak bisa dibendung.
“Rere.” Panggilku
“Dodo, sini Do” ucap Rere pelan
semampunya
“Iya Re?”
“Genggam tanganku, Do !”
Aku menoleh melihat kedua orang
tua Rere, kedua orang tuanya melihatku dan hanya menganggukkan kepala mereka.
Aku meraih tangan Rere dan menggenggam jemarinya. Menghangatkan tangannya yang
terasa begitu dingin.
“Do, maafkan aku sudah
merahasiakan ini.”
“Aku maafin, kalau kamu sembuh!”
kata itu begitu saja terlontar dari mulutku
“Kalau aku gak sembuh, kamu gak
mau maafin aku?” tanyanya dengan nada sedih
“Aku maafin kamu, Re. Mana
mungkin aku menaruh dendam padamu.”
“Kalau begitu, kamu juga mau
maafin aku karena aku diam tak menjawab pertanyaanmu saat kamu bilang kamu
menyukaiku?” Rere terisak
“Iya Re.” jawabku
“Dan maafin aku juga, Do. Sama
halnya aku menyembunyikan penyakitku, aku juga menyembunyikan perasaanku. Aku
sayang kamu, Do. Lebih dari sayang sekedar pada sahabat.”
Deggg.. Jantungku berdetak tak
karuan. Aku shock.
“Serius kamu Re?”
“Iya, Do. Tapi maafkan aku Do,
walau begitu sepertinya kita tak ditakdirkan bersama di dunia ini, mungkin di
dunia lain.”
“Kamu ngomong apasih, Re? Jangan
ngomong gitu ah !”
“Tolong berbahagialah demi aku.
Buatlah yang terbaik di dunia ini. Mimpiku sepertinya terhenti sebelum aku
menginjak usia ke-17, kamu harus sukses meraih mimpimu !” Rere berbicara
terengah-engah
“Bahagiamu adalah bahagiaku, Re.”
ucapku dengan volume yang besar
“Aku akan bahagia disana, Do. Di
dunia yang berbeda denganmu”
“Aku sayang kamu, Re. Sayang
banget.” Kataku sambil menggenggam erat kedua tangannya.
“Papa, Mama, Dodo. Thanks for
everything. Aku mau tidur, aku capek.” Katanya dan memejamkan matanya
Beberapa menit kemudian, kami
kehilangan Rere untuk selamanya. Dan sejak saat itu aku takut, sepertinya aku
tak akan pernah jatuh cinta. Namun Rere pasti ingin melihatku bahagia. Maka aku
akan meneruskan hidupku dan melakukan apapun sebaik mungkin. Untukmu Rere, dan
untuk orang-orang yang ku sayangi lainnya.